Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Review "Antologi Rasa", Kisah Cinta Segi Empat Sembarang yang Berantakan

Diadaptasi dari novel Ika Natassa, Antologi rasa kisahkan cinta segi empat yang tak ada ujungnya. Agak membosankan

"Kalau dia bikin lo ketawa, itu tandanya lo suka sama dia. Kalau dia bikin lo nangis, itu tandanya lo cinta sama dia."

Tapi bagaimana jadinya kalau dia yang kamu maksud malah bikin kamu ketawa dan nangis juga. Apakah itu tandanya kamu suka dan cinta secara berbarengan. Kalau begitu apa yang membedakan suka dan cinta? Apa hanya sekadar tangis atau tawa?

Kalau kamu pernah bimbang dengan perasaan kamu sendiri, nggak usah sedih. Kamu nggak sendiri kok. Ada orang lain yang juga bernasib sama, termasuk Keara, cewek profesional muda yang terjebak di antara cowok yang mencintainya dan yang dicintainya. 

Kisahnya bisa kamu saksikan dalam film produksi Soraya Intercine Films, Antologi Rasa (2019), yang merupakan adaptasi dari novel best seller karya Ika Natassa.

Bagian awal yang penuh dengan narasi

Baju Harris warna biru, terus pas masuk ruangan jadi warna putih/dokumentasi Soraya Intercine Film

Antologi Rasa membuka ceritanya lewat tokoh Keara (Carissa Perusset) yang pergi ke Singapura untuk menonton F1. Selanjutnya dari tokoh Keara, film memperkenalkan dua tokoh lain yakni Harris (Herjunot Ali) dan Ruly (Refal Hady). Mereka bertiga sudah bersahabat bertahun-tahun semenjak bekerja di kantor yang sama.

Dan parahnya, di hari pertama kerja mereka kompak terlambat. Anehnya lagi mereka sangat bangga dengan keterlambatannya. Ya mungkin karena pertemuan pertama itu yang membawa mereka pada kisah yang nggak disangka-sangka.

Sekelumit adegan perkenalan tersebut diceritakan secara narasi melalui tokoh Keara dan Harris. Dari narasi tersebut Antologi Rasa seakan memberi tahu bahwa film akan berjalan dari sudut pandang keduanya. Namun perlu disayangkan, narasi yang dilontarkan oleh para tokoh tersebut nggak pernah benar-benar koheren dengan apa yang tersaji di layar.

Ada kalanya penonton tahu lebih dulu dari layar sebelum sang tokoh menarasikannya. Atau kebalikannya, narasi lebih dulu, baru gambar tersaji kemudian. Tapi ada pula yang memang hanya narasi dan nggak tersaji di layar.

Menilik bentuk tersebut yang dipilih sebagai pembuka, dan durasinya cukup lama pula, membuat saya seperti tidak sedang menonton film. Saya seperti mendengarkan orang mendongeng. Dan itu sangat membosankan, Ferguso!

Kisah cinta segi empat yang nggak berujung

Judul soundtracknya cinta segitiga, padahal kisahnya garis tak bertepi (Sumber: dokumentasi Soraya Intercine Films)

Narasi yang menyita durasi awal memang diselingi oleh usaha keras Herjunot Ali (Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Supernova) yang mencoba melucu dengan karakter bad boy-nya. 

Harris yang digambarkan mencintai Keara menyuguhkan akting yang beda dari peran lain yang biasa dimainkan Herjunot Ali. Beberapa monolog yang dilontarkannya pun cukup pas menggambarkan suasana hatinya. Termasuk rasa kebahagiaannya ketika Harris bisa berduaan dengan Keara.

Harris mungkin senang, tapi Keara bisa saja nggak. Karena cowok yang ia cintai sebetulnya adalah Ruly. Melalui adegan telepon selepas nonton F1, penonton bakal dikasih tahu betapa Keara sangat mencintai Rully. Tapi setelah menerima telepon tersebut, Keara mendadak jadi manusia paling sedih seantero Singapura. Ia menangis di depan cermin dan meratapi betapa bodohnya ia mencintai Ruly. Lho kok bisa?

Nggak lain dan nggak bukan karena Ruly mencintai Denise (Atikah Suhaime), cewek yang sudah dekat dengan Ruly sejak SMA, kuliah, dan sekarang kerja bareng.

Begitulah kurang lebih kisah percintaan di Antologi Rasa. Harris mencintai Keara, Keara mencintai Ruly, Ruly mencintai Denise. Sedangkan Denise mencintai siapa? Ia sudah menikah dengan cowok bernama Kemal. Lalu Kemal? Entahlah, yang jelas ia nggak mencintai Denise.

Kalau kisah cinta ini terus dilanjutkan, nggak akan ada ujungnya. Film pun nggak akan pernah selesai. Rumit ya.

Nyaris nggak ada perkembangan konflik

"Pinjam dulu dong tangan lo"(Sumber: dokumentasi Soraya Intercine Films)

Kisah cinta yang rumit dan nggak berujung itu bermuara pada cinta terpendam. Masing-masing dari mereka nggak ada yang berani mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya karena khawatir merusak persahabatan. Istilah keren zaman sekarang, friendzone kali ya. Sebuah zona di mana kita sok perhatian pada orang yang kita cintai, tetapi tetap berujung pada baper semata.

Sepanjang durasi film, Antologi Rasa hanya menyuguhkan sang tokoh berjalan ke sana ke mari dalam balutan friendzone. Keara yang kecewa terhadap Harris karena suatu insiden di Singapura, mendadak dipersatukan dengan Ruly karena mereka satu tim kerja di Bali.

Dan ketika Ruly dan Keara diberi porsi tampil berdua di Bali, film pun memberi narasi dari sudut pandang Ruly. Buat saya hal ini jelas bentuk ketidakkonsistenan film dalam bercerita. Terlebih Ruly digambarkan mulai lelah dengan Denis dan mencoba menerima Keara. Dan satu hal yang pasti, Ruly nggak benar-benar tahu kalau Keara mencintainya.

Jadi kalau Ruly dikatakan memanfaatkan Keara sebagai pelarian, itu agak aneh. Apalagi ada satu adegan yang memperkuat kalau Ruly memang benar-benar jatuh hati pada Keara.

Film terus saja bergulir demikian. Nyaris nggak ada pembangunan konflik yang membuat intensitas cerita punya dinamika. Masalah-masalah yang ada hanya berlalu begitu saja. Padahal beberapa masalah tersebut bisa dibangun jadi kesatuan yang utuh. Sayang film hanya mengisi aktivitas dengan ngobrol, makan, dan ciuman.

Dan hal itu masih diperparah dengan rentetan penampilan aktor yang buruk, terutama Carissa Perusset. Sebagai tokoh utama, Carissa nggak pernah bisa memainkan intonasi dan nada yang tepat dalam berdialog. Ia seperti nggak terlalu mengerti kapan intonasi harus meninggi, dan kapan harus biasa saja. Ia pun nggak cukup piawai memainkan berbagai rentang emosi yang dibebankan padanya.

Tapi bisa dimaklumi kalau kita mengingat fakta bahwa Antologi Rasa adalah debut perdananya Carissa. Apalagi Carissa nggak terbiasa berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya.

Membaik di akhir film

Udah dapat kecupan langsung lupa begitu saja. Ada-ada saja Ruly ini/(Sumber: dokumentasi Soraya Intercine Films)

Kekeringan yang melanda Antologi Rasa perlahan mulai mencair ketika mendekati titik akhir. Kita patut berterima kasih pada tokoh Denise, yang meski aktingnya hanya tiduran, ia punya pengaruh kuat terhadap cerita film.

Melalui Denise inilah kita akan dihadapkan pada perubahan karakter Keara yang menyadari kalau Ruly bukanlah cinta sejatinya.

Hal yang sama pun berlaku bagi Harris. Akhirnya ia pun lelah berada dalam kawasan friendzone. Perubahan karakter Harris dilakoni Herjunot Ali dengan sangat baik. Berbeda sekali ketika ia berperan sebagai Harris yang konyol dan bad boy.

Adegan-adegan akhir kebersamaan Harris dan Keara adalah bagian yang menghangatkan hati. Mobil dan bubur menjadi kunci utama bagaimana mereka melakoni babak ini dengan hati yang tulus. Dan setelah mengetahui akhir ceritanya seperti apa, saya cukup menyayangkan Antologi Rasa berjalan seperti apa adanya sekarang ini. 


Finally, film arahan Rizal Mantovani ini terasa seperti rangkuman novel saja. Mungkin bagi mereka pencinta novelnya akan mudah terhubung dengan kepingan-kepingan yang hilang dalam filmnya. Tapi sebagai sebuah karya utuh, Antologi Rasa nggak kemana-mana.

Satu lagi, pengalaman sinematik yang megah dan mewah ala film-film Soraya, serasa hilang di Antologi Rasa.


Read Also :
Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi Jurnalis atau Entertainer namun malah tersesat di dunia Informatika

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke RajaSinema. Kami sangat senang jika Anda berkenan meninggalkan komentar dengan bijak, tanpa link aktif, dan atau kata-kata kasar.