Tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi dunia politik (media sosial) Indonesia. Bagaimana tidak, dua kelompok yang sering disebut sebagai cebong dan kampret ini selalu saja meramaikan linimasa dengan berbagai pertarungan sengitnya. Mulai dari yang becandaan hingga yang benar-benar serius dan bisa berujung di kantor polisi.
Entah siapa dan bagaimana, kedua kelompok ini tercipta. Meski nggak sedikit yang berada di pihak ketiga dan berusaha menengahi, tetap saja pertarungan cebong vs kampret sulit teratasi. Proses rekonsiliasi alias pemulihan hubungan mereka berdua memang agak sulit dilakukan karena nggak sedikit pula para elit politik yang diduga turut bermain di perseteruan tersebut.
Tak ubahnya mereka yang entah kapan akan pulih, hubungan Ambu Misnah dan Fatma pun sama panasnya. Kisah perseteruan mereka bisa ditemukan di film Indonesia terbaru berjudul Ambu produksi Skytree Pictures.
Mengangkat budaya Baduy
Ambu Misnah (Widyawati) ditinggal anak perempuannya, Fatma (Laudya Cynthia Bella), yang pergi dari rumah mereka di Baduy demi cintanya pada pemuda Jakarta, Nico (Baim Wong). Fatma kemudian memiliki anak bernama Nona (Lutesha). Suatu hari, Fatma membawa Nona pulang ke Baduy. Dan polemik keluarga muncul.
Film arahan Farid Dermawan mengambil latar di Baduy, sebuah suku di Kabupaten Lebak, Banten. Dan ini satu hal yang perlu diapresiasi karena budaya Baduy hampir jarang muncul di sinema Indonesia.
Tapi ada hal yang jauh lebih penting dari itu. Budaya Baduy yang diangkat dalam film ini berhasil berjalan beriringan dengan cerita utama filmnya. Proses hubungan ibu dan anak melebur bersamaan dengan banyaknya informasi mengenai adat Baduy. Mulai dari fenomena nikah di usia belasan tahun, larangan menggunakan handphone, tidak adanya pasta gigi dan sabun, hingga tidak diperbolehkannya laki-laki dan perempuan berduaan setelah hari mulai gelap.
Nikah muda? Siapa takut!
Selepas nonton Ambu, saya transit di sebuah mesjid yang di dalamnya ternyata sedang ada kajian mengenai nikah muda. Saya yakin ini bukan suatu kebetulan. Dalam film Ambu, kemungkinan Fatma menikah muda dengan Nico. Itu sebabnya kenapa casting director memilih Laudya C. Bella dan Lutesha sebagai ibu dan anak yang secara usia nggak terpaut cukup jauh.
Di kajian tersebut, sang penceramah mengatakan salah satu keuntungan nikah muda adalah terhindar dari dosa zina. Tapi film Ambu memberikan sudut pandang lain. Menikah muda bukanlah persoalan hubungan seksual semata, tapi diperlukan kematangan emosional guna membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Dan itu terjadi dengan Fatma. Kalau menikah hanya untuk hubungan seksual, bisa dibilang Fatma dan Nico berhasil. Buktinya adalah kehadiran Nona, putri semata wayang mereka. Tapi secara emosional mereka belum terlalu matang. Mereka bercerai, dan Fatma hanya dijadikan sapi perah oleh Nico.
Di tengah keadaan seperti inilah dan dengan berbagai pertimbangan, Fatma memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Baduy. Tentu dengan mengajak Nona.
Proses rekonsiliasi pun dimulai
Siapa sangka keputusan Fatma meninggalkan Ambu Misnah dahulu kala menyisakan hukum adat yang dilanggar. Ambu Misnah nggak mengakui lagi Fatma sebagai anaknya, dan Fatma sudah nggak diterima lagi sebagai warga Baduy.
Sepanjang durasi 118 menit ini, kita akan diperlihatkan bagaimana proses demi proses pemulihan hubungan antara Ambu Misnah dan Fatma. Nggak mudah bagi mereka untuk bisa saling menerima kembali apalagi setelah lebih dari 16 tahun mereka tidak bertemu.
Titien Wattimena yang diberi tugas untuk menulis naskah film ini, sanggup untuk mengantarkan proses rekonsiliasi hubungan mereka menjadi suguhan yang menyentuh sekaligus menampar. Nggak hanya itu, Ambu pun ternyata nggak main-main urusan teknis. Ada banyak momen yang ditangkap kamera Yudi Datau yang semakin memperkuat makna yang ingin disampaikan dalam setiap adegan di film ini.
Namun film terkadang sedikit kurang fokus ketika plot Nona dikembangkan menjadi satu kesatuan cerita sendiri. Ia yang digambarkan ngggak akur dengan ibunya lebih memilih menghabiskan waktunya dengan Jaya (Andri Mashadi) pemuda lokal yang baru saja dikenalnya. Tapi pengembangan plot Nona ini menjadi maklum karena tokoh ini diposisikan sebagai karakter yang belajar dari apa yang dilakukan oleh ibu dan neneknya.
Secara teknis pun plot Ambu Misnah vs Fatma dan Nona vs Jaya seringkali disunting bergantian. Pendekatan ini dilakukan bukan tanpa makna. Puncaknya adalah ketika dua plot ini bertemu di satu titik. Ya saat Ambu Misnah berkata ‘perempuan murahan’ pada Nona. Dan itu menjadi salah satu adegan favorit saya di film ini.
Selanjutnya film yang menampilkan bupati Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M, ini terus saja menapaki proses rekonsiliasi hubungan para karakter yang sebetulnya saling menyimpan rasa sayang dan rindu. Dan penonton diberi gambaran yang cukup akan itu. Penonton sudah lebih dulu tahu kalau mereka sebetulnya saling menyimpan rasa sayang yang sulit diungkap.
Dengan keadaan seperti itu, Ambu cukup berhasil melakukan teknik storytelling yang baik dalam mengantarkan ceritanya. Misalnya ketika Ambu Misnah mengajak Hapsa (Endhita) pergi ke rumah sakit, saat Ambu Misnah membuat ramuan, atau ketika Ambu Misnah lebih memilih pindah ke rumah Hapsa daripada tinggal di rumahnya sendiri.
Pada akhirnya proses pemulihan hubungan itu bisa dilakukan selama masing-masing pihak membuang jauh-jauh egonya. Dan peran pemimpin untuk mendamaikan pihak yang bertikai sangat dibutuhkan. Sebagaimana tetua adat yang ikut serta dalam merekonsiliasi hubungan Ambu Misnah dan Fatma.
Dan semoga cebong dan kampret bisa belajar dari film ini. Tentu para elit politiknya juga!