Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Review Milea Suara Dari Dilan: Nostalgia yang Mubazir

Tiga kali ke bioskop dan mendapati Milea Suara Dari Dilan ludes dalam waktu cepat, membuat saya baru bisa menonton film arahan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini di hari kelima. Senin, 17 Februari 2020, show 12.45, di XXI TSM, adalah pilihan yang tepat karena penonton relatif sepi. Mungkin hanya seperempatnya saja yang terisi.

Duduk di kursi atas (agar supaya tidak ada penonton alay yang menendang kursi), saya sudah siap menikmati kisah cinta Dilan dan Milea yang kali ini akan diceritakan dari sudut pandang Dilan. Dan bukan hanya sebatas sudut pandang penceritaan saja, Dilan sekaligus menjadi narator untuk filmnya.

Dibuka dengan ketikan Dilan (Iqbaal Ramadhan) di laptop lengkap dengan wafer tango, Dilan masa kini mulai menceritakan masa lalunya. Dilan mengakui bahwa dirinya tidak sepandai Milea dalam hal bercerita. Dan ini adalah early warning yang tegas jika dalam proses penceritaannya nanti akan berantakan dan antah berantah.

Diawali dengan masa kecil Dilan (yang diperankan sangat baik oleh Bima Azriel), perlahan saya diajak masuk ke dunia Dilan dan keluarganya. Tidak ada masalah berarti, saya cukup berhasil masuk ke dalam cerita dan kehidupan Dilan. Hingga tiba diskusi Romusha di meja makan, saya merasa seperti pernah melihat ini sebelumnya.

Tapi dugaan saya belum kuat. Saya terus mengikuti ke mana Dilan pergi. Mulai dari sekolah, kantin bi Eem, rumah temannya, hingga ke rumah Milea (Vanessa Prescilla). Dan dari situ saya baru sadar, “Ah rupanya ini adegan yang ada di film Dilan 1990 dan Dilan 1991”.

Lalu kutengok jam di handphone, rupanya sudah lebih dari satu jam saya menyaksikan sesuatu yang pernah saya saksikan sebelumnya. Persis sama! Bedanya di naratornya saja. Jika dua film sebelumnya dipandu oleh Milea, kali ini dipandu oleh Dilan.

Lalu bagaimana bisa film ini dikatakan berjalan dari sudut pandang Dilan, jika adegan yang saya saksikan adalah sesuatu yang sudah dicap sebagai sudut pandang Milea?

Mari kita lupakan dulu kemalasan pembuat film ini dalam merangkai adegan. Kita beralih sejenak pada film Mars met Venus produksi MNC Pictures yang ada dua versi, yakni versi cowok dan versi cewek.

Kedua film Mars met Venus bisa dibilang bercerita sesuatu yang sama. Tapi bedanya, shoot yang dilakukan betul-betul sesuai sudut pandang tokoh utama filmnya. Dengan kata lain, Mars met Venus tidak menggunakan gambar yang sama untuk kedua filmnya, tapi memang mengambil gambar yang beda meski dalam cerita yang sama. Tujuannya untuk apa? Ya untuk mendukung masing-masing sudut pandang: cewek dan cowoknya.

Milea Suara Dari Dilan, seharusnya bisa begitu. Sah-sah saja, jika ceritanya masih sama (bukan lanjutan). Yang menjadi persoalan bukanlah ceritanya yang diulang, tapi menggunakan gambar yang sama untuk dua sudut pandang yang berbeda, jelas suatu kemalasan.

Salah satu bukti yang meyakinkan saya kalau film ini memang lebih banyak mengambil stok gudang adalah adegan di motor dengan dialog “senakal-nakalnya anak geng motor, ia akan ikut ketika ujian praktik agama”.

Adegan dan dialog ini pertama kali muncul di trailer Dilan 1991 namun di filmnya tidak muncul. Dan justru sekarang malah muncul di Milea Suara Dari Dilan. Jadi kesimpulannya?

Karena kadung sudah masuk ke studio, maka saya harus menyelesaikannya. Adegan Dilan dan Milea bertemu di sebuah kantor di Jakarta, adalah akhir dari Dilan 1991. Barangkali setelah adegan itu Milea Suara Dari Dilan benar-benar baru. Namun sayangnya juga nggak memberikan impresi lebih selain memberitahu bagaimana akhir kisah cinta mereka.

Tapinya lagi, Milea Suara Dari Dilan juga nggak benar-benar mengakhiri kisah mereka. Nggak seperti Akhir Kisah Cinta Si Doel, yang dengan tegas menyatakan pamit, Milea Suara Dari Dilan hanya menutupnya dengan kalimat “Insya Allah kita bertemu lagi”. Dan seketika Dilan sebagai narator pun dilupakan begitu saja, dan tidak sempat menyelesaikan tugasnya.

Finally, Milea Suara Dari Dilan termasuk salah satu film Indonesia yang bikin saya bingung menilainya. Entahlah bisa dibilang bagus atau tidak, karena semestinya film ini tak pernah ada.

 

Read Also :
Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi Jurnalis atau Entertainer namun malah tersesat di dunia Informatika

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke RajaSinema. Kami sangat senang jika anda berkenan meninggalkan komentar dengan bijak, tanpa link aktif, dan atau kata-kata kasar.