Setelah Tarung Sarung, Starvision kembali melepas film andalannya ke layanan streaming Netflix. Kali ini film Layla Majnun yang sudah saya tunggu-tunggu semenjak kabar film ini mulai menyeruak ke publik.
Cerita Layla Majnun sendiri mungkin sudah tak asing lagi di masyarakat dunia. Kisah cintanya yang tragis sudah banyak diabadikan dalam berbagai bentuk karya seperti film, puisi, hingga lagu.
Yang menjadi inspirasi Layla Majnun versi Starvision ini adalah buku Layla & Majnun karya Nizami Ganjavi, sastrawan Persia asal Azerbaijan. Oleh karena itu, latar film ini berada di Azerbaijan.
Seputar perjodohan dan pernikahan
Layla (Acha Septriasa) adalah sosok wanita muslimah yang cerdas, mandiri, dan menjalani hidup sesuai keinginannya. Ia juga seorang pengajar sebuah pondok pesantren dan penulis novel. Di awal film karakter Layla diperlihatkan sebagai sosok yang enggan menikah terburu-buru. Tergambar dalam bagaimana cara Layla merespon obrolan bersama temannya yang punya cita-cita menikah.
Namun naasnya, ia sendiri terkungkung dalam lingkaran pernikahan tersebut. Ia dijodohkan dengan Ibnu (Baim Wong) teman masa kecilnya yang juga calon bupati. Layla tak bisa menolak karena keluarga Ibnu sudah banyak membantu keluarganya. Akhirnya ia mengajukan syarat akan menikah dengan Ibnu selepas pulang dari Azerbaijan.
Salma Menentang Badai/Starvision |
Layla Majnun begitu kentara mengulang-ngulang narasi jikalau pernikahan harus didasari atas rasa cinta bukan karena perjodohan. Kasarnya cinta dulu baru menikah, bukan menikah dulu baru (mungkin) cinta.
Perpaduan materi klasik dengan prinsip modern, yang saya kira menarik disaksikan di masa sekarang. Layla Majnun punya dimensinya sendiri.
Dialog hangat tentang luka, sastra, dan budaya
Layla mendapat kesempatan menjadi dosen tamu di Azerbaijan selama dua minggu. Di sana ia bertemu dengan Samir (Reza Rahadian) salah satu mahasiswanya yang begitu mengagumi buku Layla. Perlahan tapi pasti, Layla pun memiliki perasaan yang sama padanya.
Monty Tiwa yang dipercaya duduk di kursi sutradara, menggambarkan perasaan Layla kepada Samir tanpa pernah sekalipun terucap 'Aku Cinta Kamu'. Spirit-spirit kisah cinta Layla dan Majnun dalam materi aslinya dimasukkan ke dalam film ini. Seperti kutipan - kutipan puisinya hingga bagaimana cara Layla menjawab kalau ia juga suka terhadap Samir.
Memang motivasi Layla yang cepat jatuh cinta kepada Samir padahal di awal ia terkesan enggan mencinta memang sulit dipercaya. Beda halnya dengan Samir. Ia bukan saja cinta terhadap Layla, tapi betul-betul sudah majnun (gila) kepadanya. Perlahan tapi pasti, kita akan diajak memahami kenapa Samir begitu mencintai Layla.
Iringan scoring musik Andi Rianto betul-betul membuat film ini terasa
hangat dan syahdu/Starvision |
Ada luka di hati Samir dan (juga) penduduk Azerbaijan yang bisa terobati dengan salah satu karya Layla. Ini sebetulnya gagasan besar yang bisa terus dikembangkan oleh Layla Majnun. Tentang bagaimana sebuah karya bahasa bisa menjadi obat tanpa memedulikan sekat-sekat wilayah dan kenegaraan. Senada dengan materi asli film ini yang juga merupakan karya sastra besar yang punya pengaruh ke seluruh dunia.
Tapi rupanya, naskah gubahan Alim Sudio enggan menyelami itu lebih dalam. Layla Majnun lebih memilih memberikan highlight kepada perjalanan Layla dan Samir. Tapi untungnya, saya suka sekali bagaimana Layla Majnun menghidupkan karakter mereka berdua.
Jika ada yang bilang cinta bisa tumbuh dari kenyamanan, obrolan Layla dan Samir membuat saya jatuh cinta. Mereka bicara luka tanpa berderai air mata, membuat saya yakin mereka adalah orang-orang yang bisa tegar dan bangkit dari kehidupan masa lalu yang pernah dilewatinya.
Selain luka, mereka juga bicara tentang bagaimana sastra dan budaya menyembuhkan luka mereka. Sepanjang obrolan mereka, kita akan mengenal kekuatan budaya Azerbaijan dan Indonesia yang sama-sama punya nilai dan prinsip tersendiri.
Tapi kehangatan itu (mungkin) takkan terjadi jika ...
Acha dan Reza sudah sampai pada tahap akting itu bukan pura-pura tapi
menjelma/Starvision |
Tidak salah Chand Parwez Servia memilih menduetkan kembali Acha Septriasa dan Reza Rahadian setelah Testpack (2012, yang juga dibesut Monty Tiwa). Acha sangat kuat memainkan emosinya. Kalau masalah emosi nangis dan sedih, tak usah saya komentari lagi. Tapi di sini saya juga suka bagaimana emosi lucu dan bingung yang dihadapi Layla karena perbedaan bahasa. Atau bagaimana Layla menghadapa ulah temannya, Ilham (Uli Herdinansyah) yang menjadi 'kompor' bagi kisah cintanya.
Sementara Reza sekali lagi membuktikan kalau ia aktor yang bunglon. Ia bisa berubah menjadi apa saja. Dalam film ini tentunya Reza dituntut untuk bisa berbahasa Azerbaijan dan berbahasa Indonesia dengan logat Azerbaijan. Tapi Reza tetap tak melupakan rasa. Apa-apa yang dihantarkan oleh Samir, tetap terasa hangat dan mengena.
Salah satu yang menjadi favorit saya adalah ketika Samir menuntun Layla yang tersesat untuk pulang. Dan juga percikan-percikan romansa yang timbul dari hal-hal yang kecil semisal 'ayam dan kambing', membuat saya mudah larut dalam perjalanan mereka.
Atas perannya di Layla Majnun, Reza Rahadian dan Acha Septriasa diganjar penghargaan Festival Film Bandung 2021 Masing-masing untuk Pemeran Utama Pria Terpuji dan Pemeran Utama Wanita Terpuji
Dan bagaimana kisah mereka berakhir?
Setiap kisah pasti punya akhir, maka tak perlulah ditanya lagi bagaimana akhirnya. Kurang lebih begitulah jawaban Layla ketika ia diminta Samir menuliskan akhir kisah cinta mereka sendiri.