Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

"13 Bom di Jakarta", Megah tapi Kosong

Bertabur bintang, 13 Bom di Jakarta tawarkan laga pengeboman yang megah dan mewah. Sayangnya nggak diimbangi dengan cerita yang baik
Kabarnya ada ledakan bom asli yang digunakan di film ini/Visinema Pictures

Orang-orang mudah sekali untuk menyukai penampilan Gibran saat Debat Cawapres karena kemasannya yang meyakinkan. Tapi pascadebat, banyak pengamat politik yang evaluasi dan bilang bahwa sebagian besar apa yang disampaikannya keliru dan nggak nyambung.

Mungkin saat ini, performa Gibran adalah analogi yang paling pas untuk menggambarkan film 13 Bom di Jakarta. Kemasan film ini megah dan mewah, desain produksi yang matang, plus dibintangi deretan aktor papan atas. Tapi ternyata, isinya nggak semegah kemasannya.

Tentang genre spionase dan soal strategi

Sebagaimana tertulis di laman Wikipedia, film arahan Angga Dwimas Sasongko ini menawarkan genre baru yakni spionase (mata-mata). Secara sederhana genre spionase adalah film yang bertumpu pada subjek yang melakukan aktivitas pengintaian sebagai protagonis utama film.

Biasanya yang menjadi subjek dalam film seperti ini adalah pemerintah atau entitas lain yang tetap memiliki hubungan dengan pemerintah. Sementara yang menjadi objek untuk diintai adalah mereka-mereka yang dianggap musuh oleh si subjek.

Maka ketika kita berbicara soal pengintaian, kita juga akan bicara soal strategi. Kenapa? Karena ada satu risiko utama dari aktivitas pengintaian yakni diketahui oleh musuh. Jadi, bicara strategi ini sangat penting walau hampir semua film spionase yang saya tonton akan memulai konflik utamanya dengan bocornya aktivitas pengintaian.

13 Bom di Jakarta membuka filmnya dengan meledak-ledak. Sebuah truk pengangkut uang diledakkan oleh sekelompok orang tak dikenal. Tapi anehnya mereka tidak mengambil uang tersebut dan membiarkan masyarakat sekitar memungutnya.

Kejadian ini sontak menggegerkan Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA). ICTA cukup kebingungan untuk menyimpulkan apakah ini aksi perampokan biasa atau aksi terorisme. Hingga muncul video dari pelaku yang mengaku sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kejadian ledakan truk tersebut.

Arok (Rio Dewanto), sang pelaku meminta tebusan berupa bitcoin yang harus dikirim melalui aplikasi Indodax. Jika hal ini tidak dilakukan, ia mengancam akan meledakkan 12 bom yang sudah dipasang di beberapa titik di Jakarta setiap 8 jam.

Sebelum lanjut, kita wajib berkenalan dulu dengan dua karakter utama dari ICTA. Mereka adalah Emil (Ganindra Bimo) yang dipercaya melakukan penyerangan ke lokasi. Sementara itu ada juga Karin (Putri Ayudya) yang membantu tim Emil dari sisi teknologi yang dilakukan dari kantor.

Plis lah adegannya cuma nonton monitor doang/Visinema Pictures

Well, sampai sini kita sudah menemukan bahwa yang menjadi subjek pengintai adalah ICTA dan objeknya adalah Arok dan komplotannya. Waktu 8 jam adalah waktu yang sangat cukup bagi ICTA untuk melakukan pengintaian dan menemukan lokasi Arok. Persoalannya sekarang adalah soal strategi yang akan ICTA mainkan.

ICTA menerima informasi lokasi keberadaan Arok. Tanpa pikir panjang mereka melakukan penyerbuan ke lokasi. Apakah ini sebuah strategi pengintaian? Pengintaian biasanya dilakukan dalam senyap dan dalam kondisi musuh belum tahu kalau sedang diintai.

Tapi yang terjadi di 13 Bom di Jakarta justru sebaliknya. ICTA lah yang dipermainkan oleh musuh. Pasukan mereka sengaja dijebak untuk mengikuti arah permainan Arok. Dan ya, mereka kehilangan kendali.

Sampai akhir film pun, kita tidak akan pernah melihat bagaimana strategi ICTA dalam menangkap Arok. Semua diselesaikan lewat kebetulan informasi sinyal. Posisinya di sini ICTA sangat pasif dan hanya menunggu.

Kalau dipikir-pikir masih mending strategi para pencuri amatir dalam hal mencuri lukisan di Istana negara, daripada kepasifan orang-orang yang berpengalaman di ICTA.

Kebingungan menentukan sudut pandang penceritaan

Dalam film, sudut pandang itu satu hal yang penting. Penonton bisa mengikuti jalan cerita berdasarkan sudut pandang filmnya yang diwakili oleh karakter yang ada di dalamnya.

Karakter Karin adalah satu dari sekian banyak karakter yang ada di 13 Bom di Jakarta yang cukup didalami karakternya. Ada friksi dengan bos, terkesan tidak disukai rekan kerja, hingga sempat disinggung soal keluarganya. Dan cukup make sense jika ia adalah protagonis utama karena merupakan anggota ICTA alias sebagai subjek pengintai.

Tapi ada dua karakter lain yang juga mencuri spot. Mereka adalah Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), pemilik dan pendiri Indodax yang perusahaannya disebut-sebut dalam video pengakuan Arok.

Kedua karakter ini memiliki peranan penting bagi ICTA dalam menemukan Arok. Tapi sayangnya, penyuntingan Hendra Adhi Susanto tidak pernah membuat kisah Karin dan 'duo kucluk' ini dikisahkan secara paralel dan berkesinambungan.

Ya, kalau dibilang protagonis utamanya duo kucluk ini ya sah-sah saja. Toh pada akhirnya mereka juga yang berhasil menghentikan teror ke-13. Tapi saya masih merasa ada yang janggal dan aneh soal karakterisasi mereka.

Mereka digambarkan sebagai ahli IT yang jago bikin aplikasi atau start-up. Tapi apakah selain bikin start-up orang IT juga harus jago soal server, jaringan, hacking, hingga bisa dengan persis mengetahui pemetaan server di kantor ICTA? Coba tanyakan sama Mas Menteri Nadiem, apakah ia juga pandai dalam membedakan kabel dengan data centernya? Hehe.

Mungkin niatnya buat lucu-lucuan tapi ya gitu deh/Visinema Pictures

Kritik keras dan tajam terhadap sistem keuangan negara

Bitcoin, kripto, blockchain, dan sejumlah istilah keuangan modern menjadi setting film produksi Visinema Pictures ini. Saya sama sekali tidak ada masalah dengan hal tersebut, karena memang itu sudah menjadi dunianya 13 Bom di Jakarta.

Yang menjadi masalah, apakah dengan penyebutan berbagai istilah yang mungkin kebanyakan penonton awam tidak familiar ini menjadikan naskahnya berbobot?

Sama ketika Gibran debat menelurkan banyak istilah termasuk ICOR yang ia sebut dengan persentase. Padahal satuan ICOR itu adalah angka satuan.

Serupa dengan hal tersebut, titik lemah naskah yang ditulis sang sutradara bersama M. Irfan Ramli ini terletak di sini. Penggunaan istilah-istilah ini terasa hanya sekadar untuk memoles filmnya agar tampil wow dan kelihatan keren.

Salah satu contohnya adalah dialog yang terlontar dari Karin ketika ICTA menangkap duo kucluk. Begini bunyinya:

"Mereka sekarang adalah liabilitas bagi kita. Mereka adalah aset bagi kita".

Dua kalimat yang diucapkan berbarengan ini menggunakan kata 'liabilitas' dan 'aset' sebagai perumpamaan bagi duo kucluk. Ya, sepintas dialog tersebut terdengar keren. Apalagi dilontarkan oleh Putri Ayudya dengan sangat meyakinkan.

Tapi kalau menilik masing-masing artinya, kata 'liabilitas' dan 'aset' punya makna yang sangat jauh berbeda. Kedua kata ini tidak bisa disandingkan untuk makna yang sama. Bahkan pada neraca keuangan saja posisi mereka berada di tempat terpisah. Aset berada di bagian kiri dan liabilitas berada di bagian kanan.

Kalau memang 13 Bom di Jakarta paham akan yang mereka tulis, perumpamaan ganda seperti ini tidak akan pernah muncul dalam film yang tayang untuk publik. Atau mungkin mereka punya maksud lain yang tidak saya pahami?

Yuk riset dengan detail soal sistem keuangan negara/Visinema Pictures

Sebetulnya saya suka isu dan desain produksi 13 Bom di Jakarta ini. Jarang-jarang film Indonesia yang berani mengungkapkan kritik dari kaum terpinggirkan kepada pemerintah/penguasa lewat aksi terorisme. Apalagi sorotan film ini fokus pada satu hal yakni sistem keuangan negara yang dianggap bobrok.

Tapi saya tidak akan cerita apa yang menjadi latar belakang Arok dan komplotannya melakukan gerakan ini. Karena kalau diceritakan bakal jadi satu tulisan lain yang panjang yang isinya sesuatu yang tidak rasional dan kosong. Garis besarnya, saya tidak bisa menangkap alasan dan motivasi kuat Arok melakukan ini hanya karena masalah keuangan personal dalam lingkup mikro (keluarga). Juga pemikiran dia tentang sistem keuangan negara dan cara merusaknya yang terlalu dangkal dan sulit dicerna akal sehat.

Ada satu pertanyaan Waluyo (Muhammad Khan) kaki tangan Arok, yang cukup menggelitik. Ia mempertanyakan kenapa misi ini harus mengorbankan rakyat sipil dengan ngebom MRT dan bandara. Dan Arok selalu menjawab dengan "apa kamu tidak percaya?". Saya punya perasaan yang sama dengan Waluyo. Saya juga tidak memahaminya. Maaf, bomnya melempem kali ini.

Sebagai refreshment di industri film Indonesia, tentu keberadaan 13 Bom di Jakarta patut dirayakan. Tapi kalau cuma aksi baku tembak, buat apa?

Read Also :
Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi Jurnalis atau Entertainer namun malah tersesat di dunia Informatika

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke RajaSinema. Kami sangat senang jika anda berkenan meninggalkan komentar dengan bijak, tanpa link aktif, dan atau kata-kata kasar.