Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Berani! Film Qorin Singgung Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren

Sayangnya, keberanian gagasan tentang pelecehan seksual dieksekusi dengan setengah matang. Qorin masih bisa lebih powerfull dari yang sekarang

Buat saya horor sama saja dengan drama atau komedi. Ia hanyalah sebuah genre yang bisa dipilih oleh sineas dalam hal mengekspresikan gagasannya. Ada yang lebih penting dari itu, yakni tentang gagasan itu sendiri.

Berangkat dari keyakinan tersebut, saya amat sangat memuji film horor Lentera Merah (2006) arahan Hanung Bramantyo. Film tersebut berlatar tahun '65 dan berani menyentil kondisi sosial budaya yang terjadi pada tahun itu.

Setelahnya pada periode antara 2008 - 2012, film horor kita dikerdilkan dengan komedi esek-esek. Dan pada masa kini, khususnya dua sampai tiga tahun terakhir, wajah horor kita nyaris hanya parade hantu dengan segala ragamnya.

Dan pendekatan yang dilakukan hampir semuanya begini. Sekelompok orang bepergian ke tempat baru, kemudian mereka diteror, lalu berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari teror tersebut.

Tidak ada ide atau gagasan yang hendak disampaikan. Nggak ada yang salah memang. Tapi apakah kita mau terus menerus dicekoki dengan horor seperti itu?

Gabungan ide yang segar dan kreatif

Keadaan horor tahun ini yang begitu monoton, yang pada akhirnya saya men-skip Qorin. Dalam hati, saya sudah menemukan Qodrat sebagai satu-satunya film horor Indonesia tahun ini yang nggak neko-neko tapi berhasil menyampaikan suatu pesan tertentu.

Saya merasa Qorin (dengan mengambil istilah-istilah dalam Islam sebagai judul) tak ubahnya akan seperti film horor kebanyakan. Qorin sebagai hantu, lalu ia akan meneror para karakter yang ada di film tersebut.

But, adalah sebuah kesalahan jika kita menilai tanpa menontonnya.

Tanpa ekspektasi berlebih, saya ringankan kaki melangkah ke bioskop. Alhasil, Qorin memberikan surprise yang sama besarnya dengan Qodrat. Penasaran?

Qorin membawa ceritanya dari sudut pandang seorang santriwati bernama Zahra (Zulfa Maharani). Di sebuah pesantren yang jauh dari hingar bingar kota dan kemajuan teknologi, Zahra dan teman-temannya berjuang mendapat nilai terbaik agar bisa lulus dari kelas 12.

Di sisi yang lain, pesantren kedatangan santriwati baru yang lebih rebel, Yolanda (Aghniny Haque) namanya. Ia berasal dari kota dan dipaksa nyantri oleh kedua orangtuanya karena suatu hal.

Tidak ada yang aneh di pesantren tersebut. Sampai suatu ketika Ustad Jaelani atau yang akrab disapa Ujay (Omar Daniel), guru mereka mengadakan praktik memanggil jin Qorin.

Sekadar informasi, dalam Islam jin Qorin adalah jin yang mendampingi manusia dari lahir hingga menjemput ajalnya. Dan tugasnya adalah menyesatkan manusia.

"Apa manfaat dari memanggil jin Qorin?"

Itulah pertanyaan yang disampaikan oleh Yolanda, si santriwati baru. Tapi Ujay tidak menjawabnya secara langsung. Bagi Ujay apa-apa yang diinstruksikan oleh mursyid (baca: guru) wajib ditaati tanpa dibantah.

Gaya pembelajaran seperti ini tentu bagai shock culture bagi Yolanda. Tapi yang mengherankan baginya, kenapa semua santriwati nurut-nurut saja. Apa memang mereka penurut atau justru ada hal lain yang membuat mereka nurut?

Ginanti Rona (Midnight Show, Kalian Pantas Mati) yang dipercaya sebagai sutradara rupanya punya jawaban sendiri. 

Para santriwati tersebut nurut karena mereka mengalami pelecehan seksual oleh Ujay. Dan kasus ini bukanlah selingan semata. Qorin betul-betul menjadikan kasus ini sebagai titik utama penceritaan film ini.

Alih-alih para santriwati berperang dengan Qorin-nya sendiri. Sesungguhnya mereka sedang memperjuangkan keadilan atas kejadian yang menimpa mereka.

So, saya sangat memuji sekali ide cerita film ini yang kreatif menggabungkan kisah Qorin dalam Islam dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren.

Sungguh pendekatan yang kreatif dan berani.

Adegan mana yang paling seram?/IDN Pictures

Berani sekaligus cari aman?

Gagasan yang kreatif dan berani perlu diterjemahkan oleh penulis skenario yang juga mumpuni dan punya kepedulian tinggi terhadap isu tersebut. Sayangnya Qorin kurang memiliki itu.

Dalam penceritaannya, Qorin terlampau ke sana ke mari ketika hendak membangun sekuens aksi pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. Qorin lebih banyak mengembangkan subplot lain yang sebetulnya nggak terlalu berhubungan dengan isu utama yang diusungnya.  

Durasinya yang hampir 2 jam menjadi kurang efektif. Saya kira beberapa adegan masih bisa dipangkas agar gagasan tentang kekerasan seksual di lingkungan pesantren bisa tersampaikan dengan baik.

Apalagi masih banyak juga penonton yang nggak terlalu peduli dengan isu ketika mereka menonton film horor. Yang penting asal seru saja.

Qorin nampaknya terjebak pada keinginan itu. Walau untuk seru-seruannya nggak bisa dibilang gagal. Ginanti Rona masihlah menjadi andalan untuk urusan aksi teror yang berdarah dan menegangkan.

Duo combo Zulfa dan Aghniny

Persoalan isu kekerasan seksual yang masih setengah matang, dengan kata lain masih ragu untuk dieksplor lebih dalam, menjadi kekurangan minor saja. Hal ini bisa ditambal dari penampilan para aktornya yang berkesan. 

Protagonis utama kita Zulfa Maharani, yang tahun ini pun memberikan penampilan spesial lewat Srimulat: Hil Yang Mustahal - Babak Pertama kembali unjuk kebolehan.

Sebagai santriwati yang terbungkam dan nggak bisa speak-up atas kasus pelecehan seksual yang menimpanya, ia bisa sampaikan lewat ekspresi wajah yang memesona. Permainannya bisa memberikan impresi takut, sedih, kecewa, dan marah dalam satu ekspresi sekaligus.

Puncaknya adalah ketika adegan ia memecahkan kaca di kamar mandi. Bukan sekadar memecahkan kaca dalam artian sebenarnya, tapi adegan tersebut punya makna simbol perlawanan terhadap kasusnya.

Kenapa kaca yang dipecahkan? Ya, karena ia melihat sosok lain dirinya yang menakutkan di kaca itu. Dan adegan tersebut dimainkan oleh Zulfa Maharani dengan sangat powerfull.

Sokongan lain hadir dari penampilan Aghniny Haque.

Di sebagian besar filmografinya, Aghniny Haque diajak main film boleh jadi karena kemampuannya berkelahi. Maklum saja ia adalah seorang atlet taekwondo. Bahkan di film yang katanya sebagai pencurian terbesar abad ini pun, Aghniny hanya 'dimanfaatkan' kemampuan berantemnya. Karakternya seringkali tak diberi hati.

Tapi Qorin tidak memperlakukan Aghniny semata-mata demikian. Sebagai santri baru, karakternya bisa dianggap sebagai 'kebalikan' dari karakter para santri yang sudah lebih dulu menetap. Tanpa kehadirannya cerita nggak akan bergerak maju.

Meski begitu, kehadirannya bukanlah seperti pahlawan di Wiro Sableng. Ia datang dengan membawa luka yang nggak kalah menyeramkannya dengan apa yang terjadi di pesantren. Bahkan, ketika momen dirinya bercerita tentang masa lalunya, berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. Hiks!

Kalaulah dibandingkan dengan film lain dengan protagonis perempuan yang bercerita masalah serupa, Qorin lebih kerasa empati women support women-nya.

Kenapa harus pesantren?

Yang paling menarik dibahas dari Qorin adalah penggunaan pesantren sebagai latar. Dalam film horor kedua IDN Pictures ini, pesantren sebagai tempat menuntut ilmu yang luas bisa juga menjadi tempat yang sempit bagi korban pelecehan seksual.

Dengan latar pesantren saja kita sudah cukup bisa merasakan bagaimana para korban terkungkung dan nggak bisa speak-up. Pagar yang membatasinya bukan hanya soal letak fisik pesantren yang jauh dari kehidupan kota dan nggak memiliki banyak pintu keluar, tapi juga soal stigma masyarakat di luar pesantren.

Mau kabur dan bercerita kepada orang tua, apa kabar dengan respon warga nantinya. "Kok bisa di pesantren malah nggak suci?".

Emang apa lagi harapan orangtua yang menitipkan anaknya ke pesantren selain ingin anaknya menjadi anak yang baik dan soleh(ah)?

Santriwati hanya bisa bertahan sampai kelulusan tiba sembari merasakan pedih yang tiada tara.

Penata kamera Arfian pun mendukung hal tersebut dengan berkali-kali menyorot secara close-up pintu bilik yang jadi lokasi mesum sang ustad. Tanpa harus bereksperimen dengan frame yang macam-macam, penonton bisa turut merasakan kengerian yang dirasakan santriwati dari bilik tersebut.

Kisah Qorin hanya sebagai medium menumpahkan kekesalan atas peristiwa kekerasan seksual yang terjadi lingkungan pesantren. 

Apalagi dengan logat karakter bernada Sunda, film ini seakan jadi sindiran atas peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di Jawa Barat belum lama ini.

Read Also :
Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi Jurnalis atau Entertainer namun malah tersesat di dunia Informatika

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke RajaSinema. Kami sangat senang jika anda berkenan meninggalkan komentar dengan bijak, tanpa link aktif, dan atau kata-kata kasar.