Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Bangga Menjadi Bagian dari 9 Juta Penonton "Agak Laen"

Film Agak Laen berhasil finish di angka 9,1 juta penonton dengan penayangan lebih dari 80 hari. Pencapaian yang fantastis
Selamat atas pencapainnya/doc. Imajinari

Kabar membahagiakan datang dari film komedi (bukan horor) Agak Laen. Pada tanggal 25 Maret 2024, tepat di hari penayangannya yang ke-53, film produksi Imajinari ini berhasil tembus angka 9 juta penonton.

Dengan raihan ini bolehlah dikatakan kalau Agak Laen berhasil menjadi film Indonesia terlaris kedua 'sepanjang masa' di bawah KKN di Desa Penari. Sengaja klausul 'sepanjang masa' saya berikan tanda petik karena penghitungan jumlah penonton ini belum memasukkan film-film yang tayang di era sebelum reformasi.

Jadi selama para peneliti dan akademisi film serta pihak terkait belum bisa menghimpun jumlah penonton film di masa lalu secara lengkap dan akurat, maka 'sepanjang masa' ini bisa kita maknai sebagai era pascareformasi.

Terlepas dari soal pemaknaan 'sepanjang masa', apakah kamu menjadi bagian dari 9 juta penonton tersebut?

Kalau saya, iya. Walau sebetulnya saya tidak menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap Agak Laen. Jujur saja, saya nggak terlalu sreg dengan film-film komedi yang dibintangi para komika. Apalagi menaruh mereka di jajaran pemeran utama.

Alasannya sederhana. Dari sebagian besar film komedi yang dibintangi para komika yang saya tonton, kebanyakan berakhir dengan lawakan yang cringe. Seringkali membawa materi panggung ke film yang kadang nggak berkorelasi dengan cerita secara keseluruhan.

Ya orang boleh bilang, "ini bukan seleramu!".

Makanya saya baru nonton Agak Laen pada hari ke-10 penayangannya. Sekaligus menjadi film Indonesia terakhir yang saya tonton di bioskop sejauh ini. Padahal biasanya, untuk film Indonesia saya pasti bela-belain nonton di hari pertama, atau seenggaknya di weekend pertama.

Lantas seperti apa kesan saya terhadap film arahan Muhadkly Acho ini?

Sudah banyak yang mengulas film ini dari berbagai aspek. Bahkan diskursus film ini melebar cukup jauh hingga ke persoalan 'pelakor' dan representasi karakter disabilitas. Tentunya semua itu sah-sah saja sebagai sebuah kritik. 

Tapi yang menarik bagi saya adalah pengalaman saya ketika menonton serta reaksi penonton lain terhadap adegan demi adegan yang dihadirkan di layar.

Saya menonton film ini di XXI Transmart Buah Batu pada show kedua sekitar pukul 14:15 WIB di studio 4. Saya kira kursi penonton terisi penuh sehingga bakal menarik melihat respons estetik dari penonton yang saya yakini datang dari berbagai latar belakang.

Hal menarik pertama yang saya dapatkan adalah kenyataan, bahwa in real life politik tidak semenarik itu. Ya seenggaknya bagi penonton Transmart saat itu.

Pasalnya ketika Agak Laen menghadirkan jokes tentang Luhut Binsar Panjaitan yang dibilang menguasai presiden, tidak ada reaksi dari penonton satupun. Pun juga ketika jokes soal Harun Masiku yang hilang entah kemana, tetap nggak bikin penonton bereaksi.

Wah agak lain emang penonton Transmart ini.

Di sisi yang lain, Agak Laen mencoba menarik jokes-nya ke ranah entertainment dengan membawa persoalan Arie Kriting dan mertuanya. 

Di film ini jokes dibawakan sendiri oleh Arie Kriting. Seharusnya ini bisa menjadi materi yang sangat lucu. Apalagi mertua Arie Kriting dengan tingkahnya ini viral di media sosial dalam waktu yang cukup lama.

Tapi rupanya respons penonton sama saja. Diam seribu bahasa! Apa iya ratusan penonton saat itu sama sekali nggak ada yang tahu soal politik dan kasus mertuanya Arie?

Saya mencoba sedikit melakukan analisis mengapa hal ini bisa terjadi. 

Pencapaian lainnya, film ini tayang di bioskop Amerika Serikat/doc. Imajinari

Walau saya mengetahui soal materi jokes tersebut, saya pun tidak bereaksi apa-apa. Sekadar ngeh dan tahu saja. "Oh itu soal kasus mertuanya, oh itu nyindir Luhut". Udah gitu aja!

Yupz, karena jokes tersebut murni diharapkan sebagai pemancing tawa saja. Tidak berpengaruh apa-apa terhadap karakter, pun tidak terlibat dalam narasi. Padahal ketika menonton sebuah film, kita bisa merasakan emosi di satu adegan itu bisa jadi karena ada adegan sebelumnya yang turut serta membangun emosi.

Contohnya adalah satu adegan berikut ini yang bikin saya beneran meneteskan air mata.

Karakter Oki bersimpuh ke ibunya yang sedang sakit seraya bertanya, "Mah, mama malu ya punya anak seperti aku?". Percaya tidak percaya, adegan tersebut langsung menyentuh kalbu karena pertanyaan tersebut dimotivasi oleh adegan sebelumnya.

Adegan sebelumnya adalah ketika Oki dan Bene berantem, kemudian Bene bilang begini ke Oki. "Kau tahu kenapa mamamu sakit?, dia malu punya anak seperti kau".

Kebayang gimana perasaan Oki mendengar lambe Bene yang nggak sekolah itu. Saya aja langsung nyesek ke ulu hati. Membuat seorang anak mempertanyakan perasaan orangtuanya itu bener-bener menyakitkan.

Dari dua contoh adegan ini kita bisa menilainya dengan parameter sederhana. Jika adegan berantem Oki dan Bene hilang atau nggak ada dialog yang menyakitkan tersebut, adegan Oki bersimpuh di hadapan ibunya boleh jadi tidak akan semenyentuh itu.

Apalagi jika film menghilangkan sekuen adegan ini, Agak Laen akan kehilangan hatinya. Tapi bandingkan dengan jokes politik yang dihadirkan. Adegan tersebut dibuang pun, saya kira tidak akan membuat film ini jadi pincang.

Tapi apakah ada pembangunan komedi yang baik di film ini? Banyak juga sebetulnya.

Satu yang paling saya apresiasi adalah soal pengunjung yang meninggal di wahana rumah hantu tempat mereka bekerja yang bertransformasi menjadi ladang duit bagi mereka. Bagian pendekatan ini boleh saya bilang sebagai kreativitas tertinggi yang dipunya film ini.

Dengan treatment horor (sedikit fantasi), Agak Laen berhasil membangun serangkaian adegan yang mampu mengalirkan emosi. Dan penonton pun meresponsnya dengan teriak kegirangan berkali-kali. Saya akui, adegan ini memang pecah sepecah-pecahnya.

Coba adegan ini dihilangkan, cerita nggak akan bergerak maju. Itulah kenapa saya bilang bahwa materi komedi apapun yang ditulis seharusnya bisa berkelindan dengan cerita.

Kesimpulannya, saya merasa masih ada semacam 'ego diri' yang tinggi sebagai komika ketika mereka berada dalam film. Makanya sangat wajar, kita melihat empat pemeran utama dalam Agak Laen ini, kadang tampil in character, kadang tampil sebagai pelawak.

Sebagai perbandingan contoh komika yang berhasil melebur dengan karakternya sekalipun masih harus ngelawak adalah karakter yang diperankan Arie Kriting di Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara (2016). Coba ditonton.


Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang dipunya film ini, saya tetap bangga menjadi bagian dari 9 juta penonton Agak Laen. Seenggaknya di jajaran komedi film ini tampil sebagai sesuatu yang fresh, membumi, dan kreatif.

Kamu sudah nonton? Share pengalaman menontonmu di komentar ya!

Read Also :
Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi Jurnalis atau Entertainer namun malah tersesat di dunia Informatika

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke RajaSinema. Kami sangat senang jika anda berkenan meninggalkan komentar dengan bijak, tanpa link aktif, dan atau kata-kata kasar.